NASIONALNEWS.ID, JAKARTA – Sejumlah seniman dan masyarakat resah. Kondisi dan realitas kehidupan sosial politik bangsa yang kian semrawut, dan bertentangan dengan apa yang diniatkan oleh bapak pendiri bangsa ini membuat mereka menggelar acara diskusi kebudayaan.
Hal itu diungkap Amien Kamil, moderator acara diskusi bertema Indonesia di Persimpangan Sejarah saat membuka acara di Warung Apresiasi Bulungan Jakarta (27/12).
“Diskusi ini diadakan hanyalah untuk menjaga kewarasan dan menumbuhkan kesadaran di hati masyarakat. Mengingat kondisi Indonesia yang kini sedang tidak baik-baik saja,” ungkapnya.
Menurut Amien, Indonesia saat ini berada di persimpangan sejarah. Pegiat literatur buku yang juga seorang seniman puisi ini melihat realitas kehidupan dan sosial politik dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun lalu masih carut marut.
Dalam kacamata penglihatannya, betapa masyarakat juga sering menyaksikan berbagai macam kejadian, yang seringkali jauh dari apa-apa yang diniatkan oleh bapak pendiri bangsa.
“Kita berkumpul disini bukanlah untuk mengajak revolusi. Kita berkumpul disini hanyalah sekedar untuk menyatukan satu tekad dan menumbuhkan kesadaran bersama untuk urun rembuk pikiran. Bagaimana kita membaca situasi Indonesia, dan bersama-sama kita belajar untuk mencintai Indonesia,” tegasnya.
Amien menambahkan, “Kita sadar bahwa, kita cinta Indonesia. Entah yang bergerak di bidang kesenian ataupun kepada siapapun yang perduli dengan masa depan Indonesia. Maka mereka harus lah jadi pelopor penyadaran agen perubahan ke arah yang lebih baik.
Aktifitas sore itu menurutnya hanyalah riak kecil di tengah gelombang tapi, ini adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan sikap dan kecintaan pada Indonesia. Begitu Amien mengumpamakan gerakan budayanya itu.
“Diskusi ini adalah sekedar kongkow bareng seniman dan masyarakat umum yang ingin bicara tentang indonesia, tentang demokrasi, tentang konstitusi yang terus digerus,” kata pria yang merasa acaranya ini tidak bakal memiliki pengaruh yang signifikan bagi perubahan negeri yang telah carut- marut ini.
Sebagai seorang budayawan, “Kita mungkin tidak bisa merubah apa-apa, juga tidak bisa merias semua kemenangan yang terus saja dipertontonkan. Tapi, Amien berharap minimal sebagai seniman ia tidak tinggal diam, duduk berpangku tangan dan tidak pasrah dengan keadaan.
Pada kesempatan diskusi tersebut Amien juga menggandeng Bambang Isti Nugroho – kerap dipanggil Isti – sebagai narasumber. Pegiat literasi buku yang pernah merasakan kekejaman rezim orde baru pada masanya itu memiliki pandangan yang berbeda dengan tema yang diangkat Amien.
Menurutnya, Indonesia sudah tidak lagi berada dipersimpangan sejarah karena 3 hal,
Pertama, karena Republik Indonesia ini sudah mengalami beberapa kali pasang surut model pemerintahan. Yakni dari tahun 1930 – 1965 . Diera itu dulu memang masih ada pandangan politik Indonesia yang mengarah ke kiri atau ke kanan. Namun setelah tahun 1965 Indonesia justru lebih berkiblat ke barat. Padahal dulu berkiblat ke timur. Melihat kondisi yang demikian maka, menurutnya Indonesia berada di lika-liku sejarah, bukan di persimpangan sejarah. Lika liku sejarah itu didesain ketika reformasi yang memiliki generasi berbeda dengan sebelumnya.
“Kini yang ada dalam pemikiran saya adalah sudah tidak ada lagi keutuhan yang mendasar. Karena kita sudah menganut demokrasi liberal dan ekonomi kapitalistik. Jadi pemikiran alternatif itu sudah tidak dilirik,” ujar Isti lagi.
Isti juga menilai kalau saat ini kapitalisme sudah dominan. Dalam pemikiran global sudah tidak ada lagi alternatif. Semua sudah diatur barat. Generasi Z dan milenial pemikirannya simpel dan tidak serumit orang-orang yang pernah mengalami proses pengendapan ideologi seperti dulu yang penuh dengan pertimbangan. Pemikiran yang ada saat ini adalah hidup enak, aman, nyaman, cepat dan mudah didapat.
Nah, Indonesia yang berliku-liku ini didisain oleh elit. Era ini masuk dalam demokrasi liberal dan ekonomi kapitalistik. Kini sudah tidak ada lagi dialektika.
“Dalam perspektif Jawa ada 3 dimensi yang masih ada yakni temu kangen, temu roso dan temu pikir (dialektika). Saat ini sudah tidak ada lagi hal tersebut, ” katanya.
Sementara pembicara kedua yang dihadirkan Amien Rabu itu adalah Dr. Ngatawi Al-Zastrow, S.Ag., M.Si, seorang budayawan dari kalangan nahdliyin.
Dalam menanggapi tema pada diskusi ini, pria kelahiran memiliki yang berbeda dengan apa yang dikatakan Isti.
Menurut Isti, Indonesia kini sudah tidak ada dipersimpangan sejarah. Indonesia kini berada di Lika liku sejarah. Isti yang dulu memiliki pandangan dan ideologi tentang pertarungan pemikiran merasa saat ini sudah tidak ada lagi orang yang membicarakan tentang perdebatan dalam berbagai hal.
Menurut Isti, saat ini sudah tidak ada lagi dialektika, cara pandang ataupun perdebatan, pertarungan pemikiran. Yang ada saat ini adalah Indonesia berjalan dalam satu trek yang disebut demokrasi liberal dan kapitalisme liberal.
Sementara menurut Zastrouw, Indonesia justru memang sedang berada di persimpangan sejarah, dimana anak-anak sekarang sudah lupa sejarah dan tidak tahu sejarah. Anak sekarang mengalami krisis identitas. Tidak punya referensi sejarah. Anak-anak generasi sekarang tidak lagi tertarik mempelajari sejarah.
Belajar sejarah dianggap tidak menguntungkan dan tidak menghasilkan uang.
“Cerita tentang Isti yang dikejar-kejar tentara dan dipenjara lantaran memiliki pandangan pemikiran berbeda dengan pemerintah mereka tidak tau. Cerita tentang perdebatan Ir Soekarno soal kemerdekaan bangsa di meja BPUPKI ini pun mereka tak faham,” ujar pria yang pernah menjadi asisten pribadi Gus Dur ini.
Padahal, kata Zastrouw, “Kita bisa hidup sekarang dan apa yang dinikmati oleh generasi yang sekarang ini karena jasa-jasa orang-orang tua kita dulu,” jelasnya.
Orang-orang dulu sangat memahami, mengerti dan menguasai sejarah dalam dirinya tetapi, kini mereka telah hilang karena telah hilang ditelan arus peradaban.
Model orang seperti Isti, kata Zastrouw, tentu tahu akan sejarah kebangsaannya lewat sastra. Sehingga orang seperti ini akan memiliki pemikiran yang kritis, kerangka pijakan ideologi serta memiliki perspektif dalam berfikir.
“Mereka punya jangkar, mereka punya refrensi, jadi tahu sejarah bangsanya,” tuturnya.
“Dia memiliki pegangan ketika melihat atau memandang sesuatu. Kalau ini tidak ada maka seseorang akan gampang saja untuk lupa sejarah,”tambah Zastrouw lagi.
Menurut Zastrouw, sejarah memiliki 3 perspektif atau fungsi:
Pertama Sejarah adalah rute peradaban suatu bangsa atau masyarakat. Jadi setiap orang harus tahu tentang perjalanan sejarah bangsanya. Jika tidak maka ia akan menerima apa saja pengaruh dari luar dirinya tanpa memilah-milah terlebih dahulu.
Kedua referensi hidup. Setiap orang harus punya referensi untuk menerima sesuatu yang baru itu. Dengan demikian dia tidak akan punya masa depan. Jika dia tidak punya referensi maka dia tidak akan mengerti kedepannya harus seperti apa. Jangan asal terima referensi yang sembarangan. Karena akan menjadi haluan hidupnya ke depan.
Ketiga sejarah itu adalah house of knowledge (sumber pengetahuan)
Kalau sejarah bisa difahami secara benar tentu akan menjadi pijakan untuk dikembangkan. Orang-orang tua kita dulu belajar ilmu untuk dikembangkan di Timur tengah. Tetapi ketika mereka pulang ke negerinya mereka tidak pernah merubah identitas asalnya. Artinya harus beradaptasi kembali dengan semula. Pemikiran boleh dibawa tetapi identitas tidak.
Nah, dengan sejarah mereka bisa membandingkan dan membuat analisis.
“Menurut pemahaman, saya merasa anak-anak sekarang itu bukan cuek pada sejarah tetapi, mereka memiliki genetika kultural nusantara,”ujar Zastrouw.
“Genetika kultural itu ada pada diri setiap orang dan tidak akan hilang,” katanya
Cuma Genetika kultural itu kadang tertukar dengan sampah-sampah peradaban seperti modernitas, khilafah , syariah dan lain-lain.
“Tugas budayawan saat ini adalah membuka sampah-sampah peradaban menjadi terbuka. Meski sedikit kecil tetapi biar anak-anak itu bisa kembali berjalan sesuai dengan khitah kebudayaannya,”ujarnya.
Para pelaku sejarah itu bisa menginspirasi generasi selanjutnya.
Saat ini menurut Zastrouw memang sudah tidak ada lagi contoh-contoh keteladanan.
“Jika ada tokoh-tokoh kita berpolitik dan melakukan penyimpangan maka, ayo bareng-bareng kita ingatkan bahwa, dulu tokoh politik kita tidak seperti itu melakukan penyimpangan,” ungkap Zastrouw
Agar kita bisa tetap berada di persimpangan sejarah maka menurut Zastrouw syaratnya ada 3.
1. Kita harus tahu sejarah dari bangsa ini dimana persimpangan yang akan kita tempati dengan melihat tokoh-tokoh penginspirasi.
2. Kita harus memiliki kesadaran kritis terhadap realita.
3. Harus memiliki Ketajaman bathin, kekritisan nalar dan kepekaan jiwa harus diasah sesering mungkin agar mudah mengetahui kenyataan.
——————————————————————-Amex