NASIONALNEWS.ID, Tangerang — Di tengah laju arus budaya massa yang kian menenggelamkan keunikan lokal, sebuah oase ekspresi meletup dari jantung Cipondoh. Seradura Coffee Space menjelma menjadi altar alternatif, tempat distorsi dan estetika berkelindan dalam harmoni kebebasan. Inilah Pentas Ekspresi Subkultur Musik—sebuah perayaan akbar komunitas, semangat bawah tanah, dan perlawanan yang dirangkai dalam solidaritas tanpa sekat.
Mengusung tajuk “Main Band”, panggung ini menjadi saksi hidup dari persilangan tiga komunitas musik yang mengusung semangat kolektif: Tank GRUNGE Barat, Pamulang Distorsick, dan Tangerang is Dead. Tiga kutub yang menjalin satu frekuensi: distorsi sebagai bahasa, solidaritas sebagai denyut, dan resistensi sebagai irama.
“Ini bukan sekadar konser. Ini manifestasi dari ruang ekspresi yang selama ini ditindas oleh dominasi budaya pop. Kita lawan senyap dengan suara, kita hadapi kekakuan sosial dengan kebersamaan,” tegas Petrik Heart Shaped Box, panitia acara, penuh energi dan determinasi, Sabtu (30/8/2025).

Tak kurang dari 13 band lokal dan luar daerah tampil membakar panggung dengan warna dan gaya khas masing-masing. Mulai dari grunge mentah, punk eksperimental, hingga noise rock yang mengguncang nalar:
Syndrome Noise (Bekasi) – Sonic chaos yang menghantam batas konvensi.
Rajah (Serang) – Perpaduan puitik antara distorsi dan lirikal tajam.
Gaduh Wajik, CumaKamu, Pino Sound, Efek Kusut, Bugman, Roesuck, MR.HCI, MR, Tankcreep, Boros Batre, dan Abstrak People — deretan band lokal yang tak hanya menghibur, tapi menampar nurani dengan karya dan keresahan mereka.
Tak hanya sekadar suguhan musik, acara ini juga menyuguhkan nobar (nonton bareng) dokumenter musik independen, membuka ruang refleksi tentang posisi musik sebagai senjata kultural. Sesi live performance dipandu dengan tata suara yang digarap serius, pencahayaan yang sinematik, dan interaksi hangat antar komunitas yang penuh kehangatan.
Di balik gemuruh amplifier dan raungan vokal, berdiri sosok-sosok senyap namun vital. Para penggerak seperti Eko TID, JamiL, G-BOK, Mukti, Gery, Danie, Regay, dan Asoy menjadi dalang di balik layar. Dari penyusunan lineup, instalasi teknis, hingga pengamanan informal—semuanya dijalankan dengan semangat gotong royong khas komunitas bawah tanah.
“Kami bukan hanya ingin bikin acara. Kami ingin membangun ruang lintas ide dan spektrum pemikiran alternatif lewat musik. Ini ruang kolektif, bukan panggung eksklusif,” tutur Eko TID, koordinator teknis, dengan mata berbinar.
Kekuatan acara ini juga ditopang oleh dukungan pelaku usaha lokal. Seradura Coffee, sebagai tuan rumah, menyulap ruang ngopi menjadi pusat interaksi dan ekspresi. Sementara Kemek Ayam Boirer menyuplai tenaga lewat kuliner otentik yang menggoda lidah para penikmat gigs.
Harmoni antara musik, diskusi, kopi, dan kuliner lokal menjadikan acara ini bukan hanya peristiwa seni, tapi juga denyut ekonomi kreatif mikro yang berjalan berdampingan.

Main Band adalah pernyataan sikap. Sebuah deklarasi bahwa ruang alternatif tetap hidup, tetap bersuara, dan tetap melawan. Musik menjadi peluru simbolik yang menembus dominasi budaya pasar. Estetika tandingan menjadi bahasa yang merangkul mereka yang selama ini tercecer.
Di tengah dunia yang membungkam keragaman dan memproduksi keseragaman, acara seperti ini adalah nyala kecil yang tak bisa dipadamkan.
Di setiap dentuman drum, ada seruan. Di setiap lirik lantang, ada kebenaran.
Dan di setiap distorsi, ada cinta yang jujur kepada kebebasan.
Pentas Ekspresi Subkultur Musik bukan hanya festival. Ini adalah perlawanan yang menari, solidaritas yang bernyanyi, dan komunitas yang tak pernah diam. Ruang ini tidak akan tunduk—karena mereka tahu, bahkan dari sudut kota terkecil pun, revolusi bisa dimulai. (Daenk)











