NASIONALNEWS.ID, Bandung – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mendorong reformasi sistem perdagangan internasional yang lebih adil dan inklusif.
Langkah ini dilakukan jelang Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-14 World Trade Organization/WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) di Kamerun pada Maret 2026.
“Pada KTM WTO ke-14, Indonesia akan mengambil peran sebagai negara kunci dalam memperjuangkan reformasi sistem perdagangan multilateral yang inklusif dan berpihak pada pembangunan negara berkembang. Hal ini sejalan dengan misi konstitusional untuk memajukan kesejahteraan umum melalui perdagangan yang adil,” kata Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Dyah Roro Esti Widya Putri.
Pernyataan ini disampaikannya saat menyampaikan pidato kunci bertajuk ‘Strategic Forum Perdagangan Internasional: Masa Depan WTO PascaKonferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-14 Maret 2026’ di Bandung, Jawa Barat (Jabar) secara virtual belum lama ini.
Indonesia akan mengawal tiga isu prioritas secara aktif yakni pertama, reformasi WTO khususnya pada fungsi penyelesaian sengketa. Kedua ialah kepastian hukum atas kebijakan cadangan pangan publik (public stockholding) untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Ketiga, Indonesia memperjuangkan perlindungan nelayan kecil dalam pembahasan subsidi perikanan. Negara ini mendorong pengaturan niaga-el (e-commerce) dengan menjaga kedaulatan digital dan ruang fiskal nasional.
Hal lainnya adalah memfasilitasi investasi yang berorientasi pada pembangunan (investment facilitation for development/IFD).
Kemudian, menuntut moratorium penerapan Non-Violation and Situation Complaints (NVSC) pada The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) diperpanjang atau dihapuskan selamanya.
Dyah Roro Esti Widya Putri mengemukakan penguatan posisi Indonesia di KTM ke-14 WTO hanya dapat dicapai melalui sinergi seluruh pemangku kepentingan dalam kerangka Indonesia Incorporated.
Jadi, dia mengajak kalangan akademisi, praktisi hukum, pelaku usaha, dan media mendukung perjuangan Indonesia di WTO demi kepentingan nasional dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono menambahkan WTO sebagai organisasi perdagangan dunia yang berperan sangat penting dalam perdagangan internasional.
Forum yang membahas masa depan dunia ini menjadi sarana untuk memproyeksi dinamika perdagangan multilateral Indonesia di tengah ketidakpastian.
“Forum ini menjadi bagian dari proses pemerintah dalam menerima masukan dan pandangan tentang bagaimana sebaiknya Indonesia berkiprah di WTO. Perjuangannya tidak mudah, tetapi kita harus optimistis di tengah situasi yang sangat kompleks,” ucapnya.
WTO merupakan kiblat sekaligus jangkar perdagangan internasional yang berbasis aturan (rules-based trading system). Namun, organisasi ini sedang berjalan tidak optimal, padahal dunia perlu kepastian hukum dan akses pasar yang cepat.
“Saat ini, prioritas utama Indonesia adalah memulihkan sistem penyelesaian sengketa (dispute settlement) WTO. Meski begitu, Indonesia juga menghadapi sejumlah isu penting lainnya, seperti ketahanan pangan melalui public stockholding, akses pasar, hingga pertanian,” tuturnya.
Duta Besar RI untuk WTO, Nur Rakhman Setyoko memandang kondisi politik di Jenewa dinilai menantang, khususnya terkait fungsi penyelesaian sengketa WTO akibat badan banding (appellate body) yang belum berfungsi secara optimal.
Hal ini terjadi akibat salah satu anggota tidak ingin mengembalikan mekanisme penyelesaian sengketa seperti semula.
“Indonesia perlu menempatkan prioritas untuk menyelesaikan sengketa dalam sistem perdagangan multilateral,” ujarnya.
Pengacara Hukum Perdagangan Internasional, Joseph Wira Koesnaidi mengemukakan Indonesia merupakan salah satu negara WTO yang paling aktif baik sebagai penggugat (complainant) dan sebagai tergugat (respondent).
Sejumlah mekanisme alternatif yang dapat dimanfaatkan dalam WTO, yakni Mutually Agreed Solution (MAS), mekanisme arbitrase untuk menggantikan proses banding, dan kesepakatan antarpihak untuk tidak mengajukan banding.
Indonesia perlu terus mencari alternatif untuk menciptakan keputusan terbaik untuk melindungi kepentingan nasional. Negara ini harus terus bersiap dan adaptif terhadap apapun.
“Situasinya, memang geopolitik dan geoekonomi yang sulit diprediksi menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih fleksibel, termasuk pendekatan case-by-case untuk melindungi kepentingan nasional,” tuturnya.
Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (FH Unpad). Prita Amalia menillai special and differential treatment (SDT) menjadi hal penting bagi Indonesia sebagai negara berkembang untuk memanfaatkan prinsip kesetaraan dalam WTO.
SDT memastikan negara berkembang mampu mengimplementasikan kewajiban WTO sekaligus ikut menikmati manfaat perdagangan.
Baginya, SDT menjadi kunci menjaga legitimasi dan keberlanjutan WTO sebagai sistem perdagangan global.
Untuk memperkuat Indonesia pada WTO KTM ke-14, Indonesia perlu mengidentifikasi isu dan mengumpulkan ilmu dari lintas keilmuan. “
WTO KTM mendapat perhatian dari banyak akademisi dan peneliti. Tidak hanya dari kalangan hukum, tetapi juga dari bidang ilmu lain. Dapat terjadi kolaborasi yang bisa memperkuat Indonesia di forum KTM WTO ke-14,” ucapnya.
Policy Manager Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sherly Susilo mengungkapkan peran WTO kian melemah. Padahal, hambatan perdagangan semakin hari semakin membebani pelaku usaha.
“Dunia usaha tidak bisa terus menunggu, tetapi akan secara paralel mendorong reformasi WTO sembari mencari solusi praktis di luar WTO agar usaha bisa terus berjalan,” ujarnya.
Pengacara (partner) Baker McKenzie Law Firm Pablo Bantes menilai, meski menghadapi berbagai tantangan, WTO merupakan strategi perdagangan yang penting untuk Indonesia.
“Solusi alternatif di luar WTO dinilai belum mampu memberikan kepastian yang memadai, terlebih dengan adanya manfaat WTO yang dirasakan Indonesia melalui sistem Most Favored Nation (MFN),” ucapnya.






