NASIONALNEWS.id, LAMONGAN – Program ketahanan pangan bernilai puluhan juta rupiah di Desa Cungkup, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan, menuai sorotan tajam dari warga.
Salah satu masyarakat mengaku tidak pernah diajak bermusyawarah terkait pengadaan ayam petelur yang bersumber dari Dana Desa (DD) Tahun Anggaran 2025 dengan nilai mencapai Rp 60 juta.
Keluhan tersebut mencuat ke ruang publik melalui media sosial. Salah satu warga, dengan akun Instagram @bahrululuem, secara terbuka meminta awak media untuk mengusut pelaksanaan program tersebut.
“Mas, boleh usut berita kah? Desa saya Cungkup dapat anggaran dana ketahanan pangan berupa pengadaan ayam petelur sejumlah 60 juta, tapi dikuasai oleh sekdes tanpa musyawarah dengan masyarakat,” tulisnya.
Warga menilai pelaksanaan program tersebut bertentangan dengan prinsip transparansi dan partisipatif yang menjadi ruh pengelolaan Dana Desa.
Mereka mengaku tidak mengetahui secara jelas mekanisme pengelolaan, pihak pelaksana, maupun manfaat program yang seharusnya dirasakan secara luas oleh masyarakat desa.
Menanggapi tudingan tersebut, Sekretaris Desa (Sekdes) Cungkup, Aris, membantah adanya penguasaan program secara pribadi.
Ia menegaskan bahwa Pemerintah Desa telah melaksanakan musyawarah sebanyak tiga kali dengan melibatkan perwakilan masyarakat, tokoh masyarakat (Tokomas), ketua RT/RW, serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
“Emang benar ada program tersebut, tapi bukan saya yang menguasai. Program itu dikelola oleh BUMDes, hanya saja penempatannya di kandang milik saya,” ujar Aris saat dikonfirmasi wartawan NasionalNews.id melalui sambungan telepon, Kamis (25/12/2025).
Aris juga menjelaskan bahwa pada tahun 2025, Desa Cungkup menerima dua program ketahanan pangan yang bersumber dari Dana Desa, yakni pengadaan ayam petelur senilai Rp 60 juta dan pengadaan sapi senilai Rp 100 juta.
“Semua sudah melalui musyawarah. Kalau ada masyarakat yang belum paham regulasinya, bisa langsung koordinasi atau tanya ke Pemdes,” tegasnya.
Namun demikian, penjelasan tersebut belum sepenuhnya meredam kegelisahan warga.
Penempatan aset program di fasilitas pribadi perangkat desa dinilai rawan menimbulkan konflik kepentingan dan persepsi negatif di tengah masyarakat, meskipun secara administratif disebut dikelola oleh BUMDes.
Kondisi ini menjadi pengingat pentingnya keterbukaan informasi publik di tingkat desa.
Pemerintah Desa dituntut tidak hanya melaksanakan musyawarah secara formal, tetapi juga memastikan seluruh lapisan masyarakat mendapatkan informasi yang utuh, mudah diakses, dan dapat dipertanggungjawabkan, agar Dana Desa benar-benar dikelola untuk kepentingan bersama, bukan memicu polemik dan kecurigaan publik.
*Sholic*









