Prof Dr Heribertus Jaka Triyana Dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum HAM Internasional UGM

oleh -
oleh
img 20251014 194943

NASIONALNEWS.ID, YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali menambah deretan akademisi bergelar profesor. Dalam upacara pengukuhan yang berlangsung di Balairung UGM, Prof. Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A. resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional Fakultas Hukum UGM.

img 20251014 195033

Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul “Tantangan Indonesia terhadap Konflik Bersenjata di Laut”, Prof. Jaka mengajak masyarakat dan pemerintah untuk melihat laut bukan hanya sebagai jalur perdagangan dan arena geopolitik, tetapi juga sebagai ruang hidup bersama yang harus dijaga demi kemanusiaan dan keberlanjutan,” ujarnya Selasa (14/10/2025).

“Konflik di laut tidak sekadar persoalan militer dan batas wilayah. Di balik setiap konflik, ada korban sipil, kerusakan ekosistem, dan kehidupan nelayan yang terancam. Laut seharusnya menjadi ruang kehidupan, bukan medan perang,” tegas Prof. Jaka di hadapan sivitas akademika UGM dan undangan yang hadir.

Sinergi Hukum Laut, HAM, dan Lingkungan

Dalam paparannya, Prof. Jaka menjelaskan bahwa konflik bersenjata di laut menimbulkan dampak ganda terhadap manusia dan lingkungan. Karena itu, menurutnya, hukum laut internasional (UNCLOS) dan hukum humaniter internasional (Law of Naval Warfare) harus diterapkan secara sinergis untuk memastikan perlindungan terhadap keduanya.

Ia menyoroti fenomena di mana negara-negara besar kerap melakukan operasi militer dengan alasan keamanan nasional, namun mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan laut.

Manual San Remo 1994 sudah menegaskan bahwa, pihak-pihak yang berkonflik wajib menghormati kawasan laut yang memiliki ekosistem sensitif. Sayangnya, prinsip ini sering diabaikan atas nama strategi geopolitik,” ujarnya.

Perbandingan dengan Sri Lanka

Sebagai perbandingan, Prof. Jaka menyinggung Sri Lanka sebagai contoh negara kepulauan kecil yang telah lebih maju dalam menata regulasi maritim. Melalui Piracy Act dan Coast Guard Act, Sri Lanka aktif bekerja sama secara internasional untuk menanggulangi ancaman non-tradisional seperti pembajakan laut.

Sementara itu, Indonesia menurutnya masih menghadapi kekosongan hukum, terutama dalam mengatur penanganan konflik bersenjata non-internasional di laut.

Ketiadaan regulasi yang jelas membuat sulit membedakan antara kejahatan maritim biasa dan konflik bersenjata. Risiko kesalahan penegakan hukum dan pelanggaran HAM bisa sangat tinggi,” jelasnya.

Dorongan untuk Indonesia Menjadi Pemimpin Global Maritim

Prof. Jaka mengajak Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam membentuk tata kelola maritim global yang lebih adil dan berkelanjutan. Ia menekankan tiga langkah penting yang perlu dilakukan:

1. Menyusun regulasi domestik yang terintegrasi antara hukum laut, hukum humaniter, dan perlindungan HAM.

2. Memperkuat kelembagaan maritim nasional, seperti Badan Keamanan Laut (Bakamla), agar berfungsi optimal layaknya coast guard.

3. Mengoptimalkan diplomasi internasional untuk membentuk norma-norma baru dalam menghadapi ancaman maritim modern, termasuk penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam militerisasi laut.

Indonesia tidak boleh hanya reaktif terhadap dinamika global. Kita harus proaktif memimpin tata kelola maritim dunia,” katanya.

Laut sebagai Ruang Peradaban

Menutup pidatonya, Prof. Jaka mengingatkan bahwa laut bukan sekadar wilayah ekonomi dan keamanan, melainkan ruang peradaban manusia. Di laut terdapat kehidupan nelayan, sistem pangan, dan masa depan generasi mendatang.

Hukum internasional harus menjadi alat nyata untuk melindungi manusia dan alam. Laut bukan arena konflik, tetapi ruang kehidupan bersama,” pungkasnya.    (Satrio)

No More Posts Available.

No more pages to load.