NASIONALNEWS.ID, Kabupaten Tangerang – Sebuah industri rumahan yang memproduksi upper sepatu di wilayah Kampung Ilat RT 002/004, Kelurahan Balaraja, Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, kini tengah menjadi sorotan publik. Dugaan pelanggaran berat mencuat ke permukaan, mulai dari pencemaran lingkungan akibat limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pelanggaran hak-hak tenaga kerja, hingga potensi pembiaran oleh aparat penegak hukum di tingkat lokal, Kamis (2/10/2025).
Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan kondisi memprihatinkan. Aroma tajam bahan kimia tercium dari area produksi, menandakan penggunaan zat berbahaya seperti Volatile Organic Compounds (VOC) tanpa dilengkapi sistem ventilasi yang memadai. Ruang kerja sempit, minim pencahayaan, serta ketiadaan alat pelindung diri menggambarkan buruknya implementasi standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang semestinya menjadi prioritas dalam kegiatan industri.
Saat dikonfirmasi, pemilik usaha bernama Arifin mengakui bahwa perizinan yang dikantonginya hanyalah izin jasa penunjang percetakan dari pihak Kecamatan Balaraja. Ia bahkan secara terbuka menyatakan bahwa usahanya tidak memiliki izin industri yang sesuai dengan kegiatan produksi yang dijalankan.
“Ini saya punya izinnya, Pak, dari kecamatan,” tutur Arifin.
Pernyataan tersebut sontak mengundang respons tajam dari Ferry Anis Fuad, SH., MH., selaku Direktur Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) Banten.
“Apakah pihak kecamatan benar-benar tidak mengetahui kegiatan sebenarnya? Atau justru ada unsur kesengajaan untuk membiarkan pelanggaran ini terus berlangsung?” tegas Ferry, penuh tanya.
Di lokasi produksi, limbah cat, sablon, plastik, dan zat kimia lainnya terlihat tercecer begitu saja tanpa pengelolaan sesuai prosedur standar. Padahal, jenis limbah ini tergolong B3 yang wajib ditangani secara khusus sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Tidak adanya izin pengelolaan limbah B3 merupakan pelanggaran nyata. Jika tidak ditindak, ini bukan hanya mencemari lingkungan, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat di sekitarnya,” ujar Ferry dengan nada serius.
Tak kalah memprihatinkan, aspek ketenagakerjaan pun menunjukkan pelanggaran serius. Diketahui sedikitnya 15 orang pekerja dipekerjakan tanpa perlindungan jaminan sosial, baik BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan. Bahkan, upah yang diberikan disebut-sebut berada di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Tangerang.
Hal ini jelas bertentangan dengan ketentuan:
•Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 88 terkait upah layak;
•Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, Pasal 14 dan 15 mengenai kewajiban kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja.
“Negara tidak boleh abai. Jika pelanggaran seperti ini terus dibiarkan, dan aparat justru berpura-pura tidak tahu, maka kita sedang menyaksikan sebuah bentuk pembiaran sistemik yang mengkhianati hak-hak dasar pekerja,” lanjut Ferry.
Lebih mengejutkan lagi, Arifin mengungkap bahwa aparat dari Satpol PP dan Polsek Balaraja kerap kali datang ke lokasi. Namun, sejauh ini tidak pernah ada tindakan hukum ataupun penertiban yang dilakukan.
“Terkadang ada yang datang pak, dari Satpol PP dan dari Polsek,” kata Arifin.
Pernyataan ini memunculkan pertanyaan serius di benak publik: Mengapa aparat hadir, namun hukum tak berjalan? Apakah kedatangan tersebut hanya bersifat seremonial, atau justru mengindikasikan praktik “damai di bawah meja” yang merusak integritas institusi?
Kasus ini mencerminkan persoalan yang lebih luas dari sekadar pelanggaran administratif. Ketika sebuah kegiatan industri beroperasi secara ilegal, mencemari lingkungan, mengabaikan keselamatan pekerja, dan tetap berjalan tanpa hambatan, maka yang tergambar adalah lemahnya penegakan hukum serta kemungkinan adanya kolusi antara pelaku usaha dan oknum aparat.
Menanggapi hal tersebut, Ferry Anis Fuad menyerukan agar Pemerintah Kabupaten Tangerang, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Ketenagakerjaan, serta aparat penegak hukum dari kepolisian hingga Satpol PP segera bertindak cepat dan tegas.
“Kita butuh lebih dari sekadar sidak formalitas. Harus ada tindakan nyata, penutupan industri ilegal, penegakan hukum terhadap pelaku, serta evaluasi mendalam terhadap aparat yang terbukti lalai atau bahkan terlibat,” pungkasnya.
Reporter: Daenk