NASIONALNEWS.ID, JAKARTA – Dalam rangka merespon perkembangan sosial politik masa kini, sekelompok seniman dan budayawan kembali menggelar diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Rabu (10/1/2023) malam lalu.
Dengan mengusung tema Peran Budayawan dalam Situasi Politik Masa Kini dan Masa Depan: Melihat Kembali Jejak Chairil Anwar, Rendra, Hardi dan Kita, panitia menghadirkan narasumber Bre Redana, Arahmaiani, dan Taufik Rahzen. Dan Amien Kamil kembali didaulat menjadi moderator diskusi.
Saat membuka diskusi tersebut Amien mengatakan bahwa, seniman dan budayawan harus memiliki sikap dan ketegasan. Baik dalam berkarya maupun dalam berbicara di publik dalam menyatakan kebenaran.
“Diharapkan acara ini dapat memberikan mencerahkan pada masyarakat. Dan siapapun yang peduli dengan masa depan Indonesia harus mau jadi pelopor penyadaran dan agen perubahan ke arah yang lebih baik,” ujar Amien lagi.
Sebagai pembicara pertama tampil Bre Redana, kritikus seni dan budayawan senior yang juga mantan wartawan Kompas.
Menurut Bre, kehadirannya di acara itu lantaran dirinya bersedia diundang Amien untuk berbicara tentang sepak terjang pelukis Hardi, budayawan Rendra serta penyair Chairil Anwar. Namun khusus nama terakhir Bre mengaku tidak mengomentari karena ketidakdekatannya dengan pelantun sajak ‘AKU’ tersebut.
“Tapi kalau untuk cerita Hardi oke lah. Karena saya dan Hardi punya hubungan khusus,” begitu katanya.
Menurut Bre, dirinya kenal Hardi sudah sejak tahun 1970 saat menjadi wartawan. Namun saat Hardi meninggal pada 28 Desember 2023 lalu, dirinya tidak tahu lagi keadaan kabar baru sahabatnya tersebut. Di mata Bre, Hardi adalah seorang pelukis yang berani, kritis dan kompromistis.
“Dia bisa memaki-maki pemerintah, tetapi bisa menjual lukisannya kepada orang yang dimaki-maki,” ungkap Bre. Inilah salah salah satu bentuk yang paling ekstrem dari Hardi.
Sementara dengan Rendra, Bre mengaku dikenalkan oleh Hardi. Hubungan mereka bertiga ternyata bukan relasi kesenimanan belaka.Melainkan bersatu karena sebuah perguruan silat bernama Bango Putih. Di sini Bre banyak cerita tentang kedekatan mereka bertiga.
Selain Bre, Wartawan Agus Darmawan juga pernah mengatakan kalau Hardi sebagai orang baik. Namun oleh beberapa banyak orang Hardi kadang sering disalah pahami. Hardi dianggap sebagai seniman yang keras dan mau menang sendiri.
Salah satu kenangan yang diingat Bre bahwa di satu sisi Hardi sangat kritis pada penguasa pada zamani orde baru.
“Saya masih ingat bagaimana Hardi melakukan kritik, melakukan demonstrasi anti korupsi di depan gedung DPR-MPR sendirian, hanya ditemani istrinya Susan,” ungkap pemilik rambut gondrong yang sudah memutih ini.
Nama Hardi sempat mentereng manakala dirinya ditangkap Laksus dan ditahan oleh penguasa karena dianggap mau makar. Dalam pandangan bre, Hardi dianggap sebagai seorang yang kritis pada penguasa.
Sementara tentang Rendra Bre menganggap si burung merak ini dalam menjalani hidupnya adalah tidak jauh- jauh dari asas jalan tau atau 9 jalan pokok Tau.
Dalam sebuah penggalan syairnya Willy menyebut, “langit di luar, langit di dalam bersatu dalam jiwa. “Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi, Keberanian menjadi cakrawala, dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”
Keterkenalan Bre dan Rendra adalah terjadi saat Bre dan Hardi serta Rendra sama-sama menjadi anggota perguruan silat Bangau putih.
Cerita tentang perguruan bangau putih yang pernah mereka singgahi bersama oleh Bre didokumentasikan menjadi sebuah buku. Di buku itu, berbagai pandangan-pandangan tentang kebudayaan dan pemikiran dari Rendra selanjutnya menjadi inspirasi buat yang membacanya.
Bagi perupa Arahmaiani yang hadir sebagai pembicara setelah kedua, WS Rendra adalah orang yang sangat mempengaruhi sikap dan pola pikirnya. Setelah Ia dipenjara dan dikeluarkan dari ITB tahun 1983. Dalam perjalanan keseniannya, Arahmaiani mengeksplor seluruh kemampuannya kemana saja hingga Ia akhirnya bisa berkenalan dan bertemu Wes Rendra.
“Waktu mau tidur saya dikasih dua buku oleh Mas Willy -panggilan akrab WS Rendra-. Salah satunya buku berjudul Pararaton. Saya tertarik tentang budaya dan tradisi. Apalagi jaman Diktator Soeharto saya melihat tradisi budaya Jawa dipelintir oleh penguasa,” kata alumni ITB ini.
“Rendra adalah guru kebudayaan saya yakni yang sangat banyak pengaruh dalam pemikiran saya,” ujarnya lagi.
Menurutnya, membaca buku yang diberikan oleh Rendra membuat dirinya menjadi semakin lebih kritis tentang kebudayaan budaya Jawa. Dan dalam perjalanannya mencari ilmu kebudayaan ia pernah kenal dan akrab dengan Dalai lama waktu di Tibet.
“Tahun 94 saya pameran di tempat Ray Sahetapy. Ada sekelompok orang datang mengatakan darah saya halal. Karena karya saya Lingga Yoni. Akhirnya saya harus melarikan diri, karena kelompok semacam ini tidak bisa diberi penjelasan,” tambah Arahmaiani, sambil menyebut “yang bisa mempersatukan kelompok-kelompok saat ini, hanya satu yaitu isu tentang lingkungan,” ujarnya.
Dengan Hardi, Arahmaiani juga tahu akan sepak terjang seniman ini. Hardi adalah seniornya di dunia seni rupa. Menurutnya gerakan seni rupa baru itu sangat inspiratif dan Hardi bagian dari gerakan itu.
“Saya sendiri sangat terinspirasi dan mencoba mengeksplor kreativitas yang lain dari pada ide-ide yang sudah digarap oleh para senior-senior saya itu,” imbuhnya.
Sementara itu dalam pandangan Budayawan Taufik Rahzen, selalu saja ada pola-pola dari masa ke masa untuk menyeimbangkan kekuasaan.
Dari kalangan seniman misalnya selain ada tokoh-tokoh seperti Chairil Anwar, WS Rendra, dan Hardi, juga ada Japi Tambayong (Remy Sylado), Radhar Pancadahana dan lain-lain.
Oleh pakar sastra Jawa Prof. Dr. Petrus Josephus Zoetmulder, S.J. (29 Januari 1906 – 8 Juli 1995), tokoh-tokoh seperti itu disebut Kalangwan, yang dijadikan judul bukunya.
“Moralitas dari orang-orang Kalangwan itu sangat otonom. Tidak berdasarkan kebenaran agama atau kekuasaan. Ciri-ciri Kalangwan selalu otonom. Konsep diri mereka, ego,” ujar Taufik Rahzen lagi.
Ia kemudian mengambil contoh dalam puisi-puisi karya Chairil Anwar. Pemberian kata Aku memiliki arti aku tentang diri sendiri dan yang bermakna kolektivitas.
“Bagi para Kalangwan, keindahan adalah bagian dari tempat mereka berada. Meskipun berbeda-beda, bagi Kalangwan kebenaran selalu satu”ujar Taufik lagi
“Dari dulu masyarakat Nusantara selalu bertegangan Antara kekuasaan dan agamawan. Para budayawan dan seniman selalu mengambil jalan keindahan. Tidak terlalu peduli dengan kekuasaan,” imbuhnya.
Diskusi yang usai pada pukul 22.00 wib ini juga dihadiri seniman Butet Kartaradjasa, penyair Jose Rizal Manua, budayawan Isti Nugroho serta politikus Miing.
Saat NationalNews.id menanyakan pendapatnya tentang acara diskusi yang dihadirinya, Miing menyebut acaranya bagus. Ia yang pernah menjadi anggota DPR anggota dewan periode 2009-2014 itu pun memberikan masukan.
“Kegiatan kebudayaan seperti ini tidak bisa berdiri sendiri dan harus ada kekuasaan (pemerintah) yang bisa memahami tentang visi dan misi dari kebudayaan itu sendiri”ujarnya.
Artinya, kata Miing lagi, pemerintah harus turun tangan untuk ikut membantu mencapai visi dan visi yang diharapkan” ujar pemilik nama asli Deddy Gumelar ini lagi.
“Dari diskusi tadi saya dapat juga sih ilmu tentang antropologi budaya, sosial budaya” katanya.
Menurut Miing acaranya sudah bagus dan perlu dibikin kembali diskusi semacam ini agar pemerintah perlu merespon kegiatan para seniman yang seperti ini.
“Kegiatan kebudayaan tidak bisa berdiri sendiri dan harus ada kekuasaan (pemerintah) yang bisa memahami tentang visi dan misi dari kebudayaan itu sendiri”ujarnya. Kita tidak bisa memaksa pemerintah karena mereka tidak punya visi dan program.
Dalam beberapa pernyataan, Miing sepakat dengan apa yang disebut Nara sumber Bre Redana. Bre mengatakan bahwa dari ketiga calon presiden saat ini tidak ada saat ini tidak ada yang yang membicarakan dan mengangkat tema soal literasi. Artinya, kata Miing, disini terlihat dari soal kesadaran tentang budaya dan literasi bangsa ini sangat rendah.
Miing juga menyebut tentang adanya budayawan yang berpolitik.
“Politik itu dimensinya luas.Bisa diisi dengan siapa saja. Dan kalangan mana saja. Jangan bicara latar belakang tetapi, orang yang mau berkecimpung politik itu tujuannya mau apa” kata Miing lagi. Itu lebih penting. Kalau bicara latar belakang dalam politik nanti bisa sangat diskriminatif. “Kalau soal budayawan berpolitik itu Khan mereka punya hak untuk memilih dan dipilih.
“Yang penting pemikiran kebudayaannya harus ditindak lanjuti dalam bentuk kebijakan. Karena kalau tidak berpolitik maka, nggak akan ada kebijakan. Karena nggak punya kekuasaan” imbuhnya lagi.
Tentang Hardi yang pernah dianggap melawan pemerintah dengan karya lukisan dirinya, dengan diplomatis Miing bilang, “Setiap rezim punya keinginan untuk angka dan menjaga keamanan pemerintahannya. Mungkin waktu itu pemerintahannya masih belum dewasa betul dalam melihat demokrasi.
“Karen setiap orang punya hak untuk mengkritisi dan berpendapat,” kata kakak kandung Didin Pinasti ini.
Malam itu, sebelum acara diskusi dimulai terdapat juga pameran lukisan di loby sebelum masuk ke ruang teater kecil karya Elisa Naomi bertema Artistik Until Death. Pelukis yang tinggal di Bali itu memamerkan puluhan hasil lukisannya di selasar lobby Teater Kecil TIM ———————————————————- AMEX