NASIONALNEWS.id, KENDARI – Dalam lanskap akademik yang ideal, jabatan rektor seharusnya menjadi representasi tertinggi dari integritas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab moral terhadap masa depan bangsa. Namun, apa jadinya jika posisi terhormat ini justru berubah menjadi alat kekuasaan untuk memuaskan ambisi keluarga, menyuburkan praktik nepotisme, dan bahkan mengintimidasi institusi pendidikan menengah dengan mengebiri hak-hak anak sekolah?
Inilah ironi getir dari skandal yang mencoreng Universitas Halu Oleo (UHO), ketika dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Rektor UHO Muhammad Zamrun Firihu (MZF) menyeruak ke ruang publik. Berdasarkan dokumen investigatif dan kesaksian yang beredar, MZF diduga secara tidak sah memaksakan nama keponakannya agar diterima melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) TA. 2024/2025 di Program Studi Pendidikan Dokter UHO. Permintaan itu ditolak Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Raha karena alasan objektif, melalui guru sekolah “siswa bersangkutan tidak memenuhi standar akademik, dengan peringkat ke-105 di sekolah”.
Namun, berdasarkan alasan evaluasi objektif tersebut, Bapak Yang Mulia Rektor UHO Muhammad Zamrun Firihu justru mengambil tindakan represif. Muhammad Zamrun Firihu diduga kuat terlibat penuh terhadap keputusan mencabut kuota SNBP untuk program studi unggulan Pendidikan Dokter, dan Farmasi, dan beberpa prodi lainnya dari sekolah tersebut. Ini bukan hanya tindakan balas dendam yang merugikan masa depan puluhan siswa berprestasi dan harapan orangtua, melainkan bentuk nyata perusakan prinsip meritokrasi, transparasi dan akuntabiltas sebagai pilar utama dalam sistem pendidikan nasional.
Lebih mengerikan lagi, muncul dugaan pernyataan dari saudara kandung Muhammad Zamrun Firihu yang menyebut, “Jika anak saya tidak masuk, lebih baik tidak ada yang lulus.” Kalimat ini, bila terbukti benar, adalah manifestasi telanjang dari arogansi kekuasaan yang telah mengorbankan akuntabilitas publik demi kepentingan keluarga. Etika publik, transparansi institusional, dan hak anak bangsa dikorbankan di altar kekuasaan berbau nepotisme.
*Pelanggaran Hukum dan Etika yang Sistematis:*
Tindakan Muhammad Zamrun Firihu, jika terbukti, bukan hanya melanggar norma moral, tetapi juga sejumlah ketentuan hukum dan regulasi nasional, antara lain:
1. Permendikbudristek No. 48 Tahun 2022, Pasal 2 huruf f: mewajibkan seluruh proses seleksi mahasiswa baru bebas dari konflik kepentingan, kolusi, dan nepotisme.
2. Pasal 5 dan 6 peraturan yang sama: mengatur distribusi kuota dan kriteria akademik objektif.
3. Pasal 421 KUHP: menyasar pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang untuk memaksa seseorang melakukan tindakan di luar kewenangannya.
4. Panduan SNPMB 2024 oleh BP3: menyatakan dengan tegas bahwa tidak boleh ada intervensi eksternal dalam proses seleksi siswa eligible SNBP.
5. Prinsip Good University Governance (GUG) dan Kode Etik Akademik: menuntut integritas dan independensi dalam setiap pengambilan keputusan institusional.
Temuan ini juga selaras dengan pola maladministrasi yang berulang kali ditemukan oleh Ombudsman RI dalam praktik penerimaan mahasiswa dan rekrutmen ASN, yang melibatkan penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan kekuasaan.
*Rektor Mangkir, Publik Bertanya*
Pada 14 Mei 2025, Muhammad Zamrun Firihu mangkir dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Sulawesi Tenggara. Sementara Kadis Pendidikan Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kepala Sekolah SMAN 1 Raha ikut hadir dan sangat menghargai undangan tersebut karena pentingnya acara tersebut. Ada apa dengan Rektor? Padahal, DPRD telah memberikan ruang yang sangat terbuka, bahkan 10 kali menghubungi yang bersangkutan untuk hadir untuk memberikan klarifikasi. Ketidakhadiran ini bukan hanya soal etika, tetapi sinyal kuat akan sikap anti transparansi dan pengabaian terhadap tanggung jawab publik.
Rektor UHO justru memilih bungkam. Sikap ini patut diduga sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip tanggung jawab publik, sekaligus tidak menghargai fungsi pengawasan dewan dan mencederai kepercayaan masyarakat Sulawesi Tenggara.
Sikap pasif dan tertutup seorang pejabat publik, apalagi seorang Muhammad Zamrun Firihu (Rektor UHO), dalam kasus sebesar ini sangat mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan tinggi. Diam dalam situasi ini bukanlah netralitas, melainkan pembiaran terhadap ketidakadilan yang sedang berlangsung.
*Mendesak Tindakan Tegas: Panggil Paksa dan Bongkar Tuntas*
Langkah DPRD Sultra untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) merupakan titik awal yang penting. Namun, langkah itu hanya akan berarti jika dilanjutkan dengan penyelidikan mendalam, pemanggilan paksa terhadap MZF, serta pelaporan ke lembaga negara yang fokus terhadap dugaan pelanggaran ini yakni Komisi X DPR RI, Kementerian Pendidikan Tinggi, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung, Ombudsman RI dan KomnasHAM.
Namun, publik berharap DPRD tidak berhenti pada retorika. Pembentukan Pansus harus dipastikan berjalan dengan mandat penuh “membongkar tuntas dugaan penyalahgunaan wewenang, memastikan akuntabilitas pejabat5 publik, dan memulihkan hak-hak siswa berprestasi yang terzalimi”.
Kasus ini bukan lagi persoalan internal kampus. Ini adalah wajah dari kekuasaan yang korup ketika pendidikan dijadikan alat tawar-menawar keluarga dan kekuasaan. Ketika siswa berprestasi dikorbankan demi anak dari keluarga penguasa, maka yang hancur bukan hanya masa depan anak dan harapan orangtua, tapi juga kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan nasional. Mencermati dan memahami dugaan penyagunaan wewenang Rektor UHO Muhammad Zamrun Firihu,
berdasarkan data dan informasi yang menggelinding dan mengemuka di ruang publik ini menjadikan bola panas dan terbentuk oponi publik yang negatif dan sekarat. Pertanyaannya, dimana pemerhati pendidikan, dimana mahasiswa, dimana PGRI dan dimana KOMNAS HAM? untuk mengawal dan menuntaskan masalah hak anak-anak sekolah yang telah diamputasi dan menghacurkan harapan orangtua murid akibat konflik kepentingan dalam dugaan kuat penyalahgunaan wewenang (jabatan) oleh Rektor UHO Muhammad Zamrun Firihu.
Dalam negara demokratis yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan, tidak boleh diberi ruang bagi kekuasaan yang beroperasi tanpa pertanggungjawaban. Jika benar telah terjadi pelanggaran sebagaimana adanya laporan pengaduan masyarakat sipil di POLDA Sultra, keterangan Kepala Sekolah SMAN 1 Raha (dalam RDP) dan beberapa pernyataan orangtua murid yang dikobarkan, maka Muhammad Zamrun Firihu (Rektor UHO) layak dipanggil paksa dan diperiksa secara hukum bahkan urgen untuk dicopot dari jabatannya.
*Pendidikan bukan ladang balas dendam. Pangkat Akademik (toga) bukan tameng kekuasaan. Dan jabatan rektor bukan tempat persembunyian dari hukum.*
Di atas segalanya, masa depan anak-anak Sulawesi Tenggara dan Indonesia jauh lebih penting daripada kepentingan segelintir elite yang menyalahgunakan jabatan dan kewenangan.