Cegah Jatuh Korban Petugas KPPS, KPU Gelar Konsolnas Layanan Pemilu 2024

oleh -
img 20221222 214510

NASIONALNEWS.ID, LAMONGAN – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar Konsolidasi Nasional (Konsolnas) menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024, selama 3 hari, 1-3 Desember 2022 di Convention Hall Beach City Entertainment Center (BCEC) Ancol, Jakarta. Konsolnas untuk meningkatkan pelayanan Pemilu 2024 berjalan dengan lancar dan tidak memakan korban, seperti Pemilu 2019.

Dihadiri Presiden RI Joko Widodo, acara dibuka Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari dan melibatkan jajaran KPU di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia, dan salahsatunya Konsolnas pelayanan Pemilu meminimalisir jatuh sakit dan korban meninggal petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Presiden Jokowi menyampaikan, bahwa peristiwa Pemilu 2024 merupakan momen politik yang sangat besar serta penting. Pada pemilu kali ini, Indonesia mengadakan pesta demokrasi yang serentak bersamaan secara Nasional.

“Tentunya, tugas ini bukanlah tugas yang dapat dikatakan mudah, karena pelaksanaan Pemilu nantinya akan menentukan masa depan bangsa Indonesia. Konsolnas tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan layanan Pemilu 2024, yang diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan tidak memakan korban, seperti pada saat Pemilu 2019,” harapnya.

Menurutnya, data dari KPU RI pada tanggal 4 Mei 2019, menyebutkan bahwa terdapat korban sebanyak 440 orang yang berasal dari petugas pemilihan umum (Pemilu) 2019 meninggal dunia. Sementara, petugas yang sakit mencapai 3.788 orang.

“Diketahui, data Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan berdasarkan siaran pers Kementerian Kesehatan yang diterima di Jakarta, Kamis (16/5/2019), setiap provinsi di Indonesia mencatat bahwa terdapat petugas KPPS yang jatuh sakit mencapai 11.239 orang serta korban meninggal dunia sebanyak 527 jiwa,” pungkasnya.

Dilansir dari website resmi kab-lamongan.kpu.go.id bahwa KPU Kabupaten Lamongan hadiri Konsolnas dalam rangka kesiapan pemilu tahun 2024.

Menurut data hasil kajian lintas disiplin atas meninggal serta sakitnya petugas Pemilu 2019, yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan inisiasi dari Fakultas ISIPOL, Fakultas KKMK, Fakultas Psikologi, serta Fakultas Geografi, menyelenggarakan kajian lintas disiplin untuk mengkaji fenomena tersebut.

Fokus dari kajian tersebut yaitu untuk mengidentifikasi faktor risiko yang telah menyebabkan kesakitan serta kematian pada Petugas Pemilu 2019, dengan mengambil lokasi di DI Yogyakarta.

Penyelenggaraan pemilu seharusnya tidak menyebabkan permasalahan sakit serta meninggalnya petugas Pemilu, sehingga kejadian meninggal dan sakitnya petugas Pemilu harus dianggap sebagai sebuah kejadian luar biasa (KLB).

Meskipun KLB sebenarnya dapat diantisipasi, kajian tersebut menghasilkan beberapa temuan, antara lain:

Temuan Survei

1. Median beban kerja dari petugas Pemilu yaitu berkisar diantara 20 hingga 22 jam pada hari pelaksanaan Pemilu serentak, terdapat 7,5-11 jam waktu untuk petugas mempersiapkan TPS, serta 8-48 jam waktu untuk petugas mempersiapkan serta mendistribusikan undangan.

2. Terdapat sekitar 30% petugas TPS yang ada di DIY melaporkan adanya kejadian yang mengganggu jalannya kegiatan Pemilu.

3.Terdapat sekitar 20% kejadian yang mengganggu jalannya Pemilu tersebut berkaitan dengan administrasi yang dianggap rumit, perhitungan suara, serta pengetahuan petugas yang secara spesifik dapat diminimalisir dengan cara manajemen bimbingan teknis (BIMTEK) yang lebih baik.

4. Terdapat 9% keluhan yang berasal dari petugas Pemilu terkait dengan manajemen logistik.

5 Dari total 212 petugas Pemilu yang ada di DIY, baik yang sehat maupun yang sakit, terdapat 80% petugas menilai bahwa adanya tuntutan pekerjaan dari penyelenggaraan Pemilu tergolong tinggi. Disamping itu, terdapat 83% dari 212 petugas Pemilu mempunyai keterlibatan kerja yang tinggi. Akibatnya, petugas mengalami kelelahan ketika bertugas. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya sekitar 74% petugas yang menganggap bahwa mereka berada dalam kategori kelelahan sedang hingga kelelahan tinggi.

6. Petugas Pemilu yang sakit serta yang sehat sama-sama terlibat penuh dalam penyelenggaraan Pemilu, namun petugas yang sakit merasa dituntut bekerja lebih tinggi. Hal tersebut dapat terlihat dari fakta bahwa terdapat 89,2% dari 74 Petugas Pemilu yang sedang sakit merasa mempunyai tuntutan kerja yang tinggi, sedangkan terdapat 74,2% dari 138 dari petugas Pemilu yang sehat juga merasa demikian. Kondisi tersebut mengakibatkan petugas Pemilu yang sedang sakit mempunyai tingkat kelelahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan petugas yang memiliki kondisi sehat.

Temuan lainnya, tidak terlihatnya kemampuan manajemen krisis yang efektif pada tingkat bawah:

Penyelenggara pemilu yang bekerja di lapangan tidak cukup mengetahui apa yang seharusnya dilakukan jika terjadi hal-hal di luar dari perkiraan, termasuk jika terjadi petugas yang sakit. Berdasarkan hasil temuan serta pemaparan di atas, maka kajian tersebut menyimpulkan, bahwa:

1. Penyebab dari kematian petugas Pemilu merupakan kejadian natural serta diduga karena riwayat penyakit kardiovaskular yang dimiliki oleh petugas Pemilu.

2. Terdapat rata-rata beban kerja dari petugas KPPS yang sangat tinggi pada saat sebelum, selama, serta sesudah hari pemilihan.

3. Terdapat kendala yang berkaitan dengan bimtek, logistik, serta kesehatan.

4. Dampak dari beban kerja yang terlalu tinggi serta terdapat riwayat penyakit sebelumnya menjadi penyebab atau meningkatkan risiko dalam terjadinya kematian serta sakit yang dialami oleh petugas Pemilu.

5. Ditemukan berbagai persoalan psikologis terkait kecemasan serta reaksi stres fisik yang dialami oleh petugas Pemilu, baik terjadi pada kelompok yang sehat maupun yang sakit. Permasalahan psikologis tersebut diantaranya yaitu terjadi karena tingginya keterlibatan kerja yang dialami oleh petugas dengan beban kerja yang berlebih, sehingga mengakibatkan kelelahan yang tinggi. Khususnya terjadi pada kelompok petugas yang sakit, tuntutan dari lingkungan kerja yang tinggi menyebabkan munculnya kelelahan secara fisik serta kecemasan.

6. Diperlukannya perbaikan dibidang manajemen krisis pada penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, untuk mengantisipasi terjadinya KLB (Kejadian Luar Biasa) semacam yang terjadi pada Pemilu 2019 di masa depan.

Menilik Pada Processes of Emotion in The Workplace Menurut Buku Organizational Communication Approaches and Procesess by Katherine Miller, pada Kematian Petugas KPPS di Pemilu 2019.

Penulis memiliki pandangan mengenai KLB yang terjadi pada Pemilu 2019, terkait dengan terjadinya Stress, Burnout, dan Dukungan Sosial di Tempat Kerja. Studi tentang stres di tempat kerja telah digunakan untuk menggambarkan berbagai aspek dari fenomena tersebut. Proses stres dikonseptualisasikan sebagai salah satu aspek dalam sebuah lingkungan (penyebab stress atau stressor) menciptakan tekanan pada individu (kelelahan atau burnout) yang dapat menyebabkan hasil psikologis, fisiologis dan organisasi yang negatif. Stressor merupakan faktor lingkungan yang sulit dihadapi seseorang, yang terjadi karena adanya beban kerja, konflik peran, ambiguitas peran, peristiwa kehidupan, konflik rumah tangga atau kerja.

Sedangkan Burnout merupakan ketegangan yang dihasilkan dari stressor, yang mengakibatkan terjadinya kelelahan emosional, depersonalisasi, penurunan prestasi pribadi. Sedangkan Outcome merupakan hasil fisiologis, sikap, dan hasil dari burnout, yang dapat mengakibatkan penyakit jantung, tekanan darah tinggi, rendahnya kepuasan kerja, kurangnya komitmen kerja, perpindahan kerja. Pertama kali dikenalkan Freudenberger (1974), mengacu pada “keletihan” akibat tekanan kerja. Burnout adalah kondisi kronis di mana stres dalam bekerja sehari-hari yang dapat berdampak buruk pada karyawan.

Burnout 3 dimensi menurut Maslach (1982), yaitu:

1. Kelelahan Emosional. – Pekerja merasa lelah, frustrasi, lelah, atau bahkan tidak mampu melewati hari di tempat kerja

2. Kurangnya pencapaian pribadi. – Pekerja merasa sebagai orang gagal, tidak mampu memenuhi tuntutan pekerjaan secara efektif

3. Depersonalisasi. – Pekerja yang harus berkomunikasi secara interpersonal dengan orang lain.

Terdapat 3 penyebab stres menurut Miller, Ellis, Zook, dan Lyles (1990),

1. Beban kerja – Beban kuantitatif: banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan. Beban kualitatif: pekerjaan yang terlalu sulit

2. Konflik peran – Adanya dua atau lebih tuntutan peran yang saling bertentangan

3. Ambiguitas peran – Adanya ketidakpastian tentang tuntutan peran.

Selain yang disebutkan di atas, burnout juga bisa disebabkan oleh stres di luar tempat kerja, termasuk peristiwa besar dalam hidup. Seperti yang diketahui oleh setiap orang yang bekerja, hampir tidak mungkin untuk memisahkan permasalahan rumah dan kantor, sehingga pemicu stres di satu bidang cenderung akan memengaruhi bidang lainnya.

Komunikasi Sebagai Penyebab dari Burnout

Komunikasi dapat berkontribusi pada kelelahan dalam organisasi. Interaksi komunikatif, dalam menambah beban kerja seseorang secara signifikan. Komunikasi juga dapat mempengaruhi pengalaman konflik peran dan ambiguitas peran. Jika komunikasi tidak mencukupi dalam tahap kritis sosialisasi ini, komunikasi dapat memainkan peran dalam meningkatkan burnout melalui dampaknya pada stressor di tempat kerja seperti beban kerja, konflik peran, dan ambiguitas peran. Selain itu, komunikasi juga berperan dalam menciptakan stres melalui proses komunikasi emosional antar pekerja.

1. Emotional labor sebagai kontributor burnout
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan pekerjaan yang membutuhkan emosi tertentu sebagai bagian dari pekerjaan. Morris dan Feldman (1996), menyebut ini sebagai “disonansi emosional” merupakan faktor terpenting yang menyebabkan burnout, ketidakpuasan kerja, dan turnover.

2. Empati, komunikasi, dan burnout
Emosi tidak “ditentukan” dan “dikelola” dari kerja emosional melainkan emosi alami yang sering muncul dalam pekerjaan pelayanan manusia. Stiff, dkk (1988) menjabarkan bahwa terdapat dua jenis empati yaitu, emotional contagion (ikatan emosional) dan empathic concern (kepedulian empatik)

Cara Mengatasi Burnout Pada Petugas Pemilu

1. Strategi individu dan organisasi.
– Problemcentered coping (penanganan yang berpusat pada masalah), dengan cara melibatkan penanganan langsung terhadap penyebab kelelahan oleh petugas Pemilu.
– Appraisalcentered coping (penanganan yang berpusat pada penilaian), dengan cara melibatkan perubahan cara berpikir seseorang tentang situasi stress yang dialami oleh petugas Pemilu
– Emotion-centered coping (penanganan yang berpusat pada emosi), dengan cara melibatkan penanganan hasil afektif negatif dari kelelahan oleh petugas Pemilu

Organisasi (KPU) juga dapat berperan dalam mengurangi kejenuhan (Pines, Aronson & Kafry, 1981).

– Program sosialisasi dapat dirancang untuk meningkatkan kejelasan definisi peran karyawan.
– Beban kerja dapat dipantau dan dikendalikan dengan hati-hati.
– Pekerja yang terlibat dalam pekerjaan atau perasaan stres tinggi dapat mengambil “hari libur” selama hari kerja atau jam istirahat untuk memulihkan tenaga.
– Konflik antara rumah dan pekerjaan dapat dikenali dengan menawarkan jam kerja yang fleksibel dan penitipan siang hari di tempat.

2. Mengatasi secara komunikatif: Partisipasi petugas Pemilu dalam pengambilan keputusan KPU.
Pengambilan keputusan partisipatif (PDM) dapat meningkatkan kepuasan dan produktivitas karyawan melalui peningkatan aliran informasi (model kognitif) dan kepuasan kebutuhan pekerja tingkat tinggi (model sikap). Penelitian juga menunjukkan bahwa PDM dapat mengurangi kejenuhan di tempat kerja. Beberapa alasan yang dapat menjelaskan PDM dapat mengatasi burnout secara komunikatif. PDM dapat mengurangi dua penyebab stres di tempat kerja (konflik peran dan ambiguitas peran). Selain efek pada definisi peran ini, karyawan yang berpartisipasi juga dapat merasa lebih dihargai oleh organisasi dan merasakan lebih banyak pengaruh dan kendali di tempat kerja.

3. Mengatasi secara komunikatif: Dukungan Sosial.
Dukungan sosial sebagai sarana untuk melindungi individu dari tekanan besar dan kecil dalam hidup. Fokus pada peran dukungan sosial pada sumber dukungan sosial untuk mengurangi stres di tempat kerja. Namun, perlu dicatat bahwa dukungan sosial bukanlah satu-satunya solusi dan tidak semua orang di tempat kerja memiliki kompetensi komunikatif untuk memberikan dukungan yang efektif. Dukungan sosial dapat diperoleh dari:

– Dukungan dari atasan (KPU), dalam bentuk dukungan instrumental dan informasi. Seorang atasan (KPU) memiliki pengetahuan untuk memberikan dukungan informasi dan akses ke sumber daya untuk memberikan dukungan instrumental.
– Dukungan rekan kerja sesame petugas Pemilu, dalam bentuk informasi dan dukungan emosional. Kolega memberikan informasi tentang cara mengatasi stresor organisasi, juga sebagai sumber dukungan emosional karena mereka memiliki pemahaman yang jelas tentang konteks tempat kerja.
– Dukungan dari teman dan keluarga, dalam bentuk dukungan emosional dan instrumental. Teman dan keluarga memberikan kepercayaan diri dan bahu untuk bersandar, dukungan instrumental dengan membebaskan tanggung jawab keluarga.

Penulis: Nifta Alifatul Khotijah

No More Posts Available.

No more pages to load.