Generasi Insecure Digital: Saat Algoritma Menggerus Nurani Kita

oleh -
oleh
yulitha widha pratama

Generasi Insecure Digital: Saat Algoritma Menggerus Nurani Kita

Oleh: Yulitha Widha Pratama, Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Komunikasi STIKOM InterStudi

Kita saat ini hidup di era yang paling terkoneksi dalam sejarah, namun secara ironis, juga menjadi generasi yang paling banyak dilanda kecemasan. Generasi yang tumbuh besar bersama gawai pintar dan media sosial ini secara kolektif tengah mengalami sebuah fenomena yang disebut Insecure Digital. Ini bukanlah sekadar rasa tidak percaya diri yang biasa, melainkan sebuah kecemasan yang secara aktif dipicu, dibentuk, dan diperburuk oleh entitas tak kasat mata bernama algoritma.

Setiap hari, secara sadar maupun tidak, kita membandingkan realitas kehidupan kita yang kompleks dengan highlight reel atau potongan momen terbaik orang lain di Instagram, LinkedIn, maupun TikTok. Ketika merasa gagal dalam mencapai standar ideal versi digital tersebut, kita cenderung berhenti mengandalkan suara hati atau akal sehat. Validasi eksistensi kita pun digantungkan pada metrik-metrik eksternal: berapa jumlah like yang didapat, seberapa banyak follower yang mengikuti, atau apakah video kita berhasil masuk ke For You Page (FYP).

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa kita sebagai manusia justru lebih memercayai rekomendasi mesin daripada kebijaksanaan batin kita sendiri?

Mesin Pengatur Realitas
Dalam ilmu komunikasi, media massa tradisional sebelumnya memegang peran sebagai gatekeeper yang bertugas menyaring informasi untuk publik. Namun, di era digital saat ini, algoritma telah mengambil alih peran tersebut dengan kekuatan yang jauh lebih besar, personal, dan sarat akan bias. Algoritma media sosial secara spesifik dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan (engagement) pengguna. Tujuannya bukanlah untuk menyebarkan kebenaran atau kebahagiaan, melainkan mendorong interaksi semaksimal mungkin demi keuntungan perusahaan.

Untuk mencapai tujuan itu, algoritma dengan cerdas memprediksi dan seolah memenuhi “kebutuhan” yang bahkan tidak kita sadari. Algoritma kerap menyuguhkan konten yang memicu kecemasan, rasa iri, atau FOMO (Fear Of Missing Out), karena emosi negatif terbukti mampu menciptakan keterlibatan yang lebih tinggi dan membuat kita terus menggulir layar (scrolling). Akibatnya, realitas kita tersaring menjadi sebuah Echo Chamber atau ruang gema yang berisi standar kesuksesan yang sempit dan tunggal. Hal ini secara perlahan mematikan kemampuan kita untuk menerima keunikan serta kekurangan diri sendiri.

Perbandingan Sosial Tanpa Henti
Fenomena insecure yang dipicu oleh algoritma ini dapat dijelaskan melalui Teori Perbandingan Sosial (Social Comparison Theory) yang digagas oleh Leon Festinger. Teori ini menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan alami untuk mengevaluasi diri dengan cara membandingkan diri dengan orang lain. Jika dahulu ruang perbandingan ini terbatas pada lingkungan sosial terdekat, kini algoritma menyajikan “lawan” perbandingan tanpa henti.

Kita terjebak dalam upward comparison, di mana kita terus-menerus disajikan profil orang-orang yang tampak “lebih sukses,” “lebih cantik,” atau “lebih bahagia”. Perbandingan masif yang terjadi puluhan kali dalam sehari ini memicu Disonansi Kognitif, sebuah ketidaknyamanan mental saat keyakinan batin (“saya baik-baik saja”) berbenturan dengan bukti eksternal (“semua orang tampaknya lebih maju”). Alih-alih mengubah kebiasaan digital, banyak dari kita yang justru mengubah keyakinan diri: mulai menerima standar digital yang tidak realistis sebagai sebuah kebenaran, lalu merasa insecure.

Jalan Keluar: Literasi dan Nurani

Insecure Digital bukan hanya masalah psikologis personal, melainkan sebuah krisis etika dan komunikasi. Membiarkan algoritma mengatur nilai diri sama artinya dengan mengorbankan “otonomi digital” dan kesehatan mental kita demi engagement. Sebagai seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi, saya melihat ada beberapa solusi yang bisa diupayakan.

Pertama adalah Literasi Algoritma. Kita perlu memahami bahwa algoritma adalah kode yang dapat diprogram, bukan sebuah takdir. Diperlukan peralihan dari konsumsi pasif menjadi pengguna yang sadar, yang mampu mengendalikan apa yang diikuti, dan menyadari bahwa “yang terbaik” seringkali adalah musuh dari “yang cukup baik”.

Kedua, Mengaktifkan Kembali Nurani. Respons etis kita adalah dengan kembali memercayai kebijaksanaan internal. Komunikasi yang sehat dimulai dari dialog dengan diri sendiri. Ketika rasa cemas itu datang, bisa jadi itu adalah pertanda dari nurani yang meminta kita untuk jeda sejenak dari kebisingan digital.

Pada akhirnya, di tengah medan perang digital yang penuh manipulasi, kemerdekaan sejati terletak pada keberanian untuk menutup aplikasi, mengabaikan rekomendasi mesin, dan menetapkan bahwa nilai diri kita ditentukan oleh makna yang kita ciptakan sendiri, bukan oleh metrik dari barisan kode. Di situlah kita dapat membuktikan bahwa manusia tetaplah entitas yang lebih kompleks, berharga, dan bijaksana.

No More Posts Available.

No more pages to load.