NASIONALNEWS.ID, Kabupaten Tangerang — Di tengah seruan nasional terhadap penegakan hukum di sektor kesehatan, kembali mencuat temuan yang mengusik nurani publik. Sebuah bangunan tak bernama di Kampung Pasir Gaok, Desa Palasari, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, diduga menjadi sarang praktik medis ilegal dan peredaran produk farmasi tanpa izin. Fakta ini terungkap dalam investigasi lapangan yang dilakukan oleh LSM Pelopor Indonesia, Jumat (29/8/2025).
Bangunan tersebut, yang secara kasat mata tak mencerminkan identitas sebuah fasilitas kesehatan resmi, justru disebut sebagai lokasi beroperasinya “Klinik Chayra Farma”—sebuah nama yang kini dikaitkan dengan dugaan pelanggaran berat terhadap regulasi kesehatan nasional.
Menurut Heru, Sekretaris Jenderal DPP LSM Pelopor Indonesia, praktik yang ditemukan jauh dari sekadar kesalahan prosedural. “Ini bukan persoalan izin yang terlewat atau kelalaian administratif. Ini dugaan praktik medis ilegal yang mengancam keselamatan nyawa manusia dan menodai integritas sistem kesehatan nasional,” tegasnya.
Dalam temuannya, Heru menjelaskan bahwa klinik tersebut melakukan pelayanan kebidanan tanpa izin resmi, memperjualbelikan obat-obatan tanpa jalur distribusi sah, serta menjajakan kosmetik tanpa nomor registrasi dari BPOM. “Tindakan ini berlapis-lapis melanggar hukum. Negara harus hadir, bukan hanya untuk menertibkan, tapi juga untuk memberikan perlindungan kepada rakyat,” lanjutnya.
Yang lebih mengejutkan, ketika tim investigasi meminta klarifikasi kepada pengelola yang diketahui berinisial AN, jawaban yang diterima justru menimbulkan lebih banyak tanda tanya. AN secara terbuka mengaku menjalankan praktik kebidanan, namun ketika ditanya soal izin, hanya menjawab, “Takut.”
Kata yang singkat, namun sarat makna. Takut karena sadar sedang menabrak hukum? Takut karena tahu ada konsekuensi yang selama ini coba dihindari? Atau takut karena merasa negara tak lagi mampu bertindak?
Realita ini mengindikasikan adanya kesengajaan sistematis dalam menjalankan praktik di luar jalur hukum. Bukan semata karena ketidaktahuan, tetapi karena keyakinan bahwa pengawasan negara dapat dilewati.
Padahal, regulasi di sektor kebidanan bukanlah sekadar formalitas. Ia merupakan jaring pengaman publik, yang mensyaratkan sertifikasi tenaga medis, izin operasional dari otoritas kesehatan, hingga pengawasan distribusi obat dan kosmetik. Pelanggaran terhadap hal ini sama dengan membuka ruang bagi eksperimen terhadap tubuh manusia—tanpa etika, tanpa perlindungan.
LSM Pelopor Indonesia menegaskan langkah lanjut: mereka akan segera melayangkan laporan resmi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang, BPOM, hingga kepolisian setempat. “Kami mendesak audit menyeluruh, penelusuran hukum, dan tindakan nyata terhadap seluruh pihak yang terlibat. Pembiaran adalah bentuk kegagalan negara dalam menjalankan mandat konstitusi,” ujar Heru dengan nada tegas.
Tak hanya soal layanan medis, aspek peredaran kosmetik ilegal juga disorot tajam. Produk tanpa izin edar memiliki potensi kandungan berbahaya seperti merkuri, hidrokuinon, atau steroid, yang bisa menyebabkan kerusakan organ tubuh secara permanen. “Konsumen sedang dijadikan korban dalam bisnis yang tak manusiawi. Ini harus dihentikan,” tambahnya.
Desakan serupa turut disuarakan para pegiat sosial di wilayah Tangerang. Mereka menilai, lambannya penanganan kasus seperti ini menciptakan ruang abu-abu yang dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab. “Jika pelanggaran ini dibiarkan, maka negara sedang memberikan pesan bahwa hukum bisa diakali, dan keselamatan publik bisa dinegosiasikan,” ujar salah satu aktivis yang memilih untuk tidak disebutkan namanya.
Kini, sorotan tertuju pada instansi penegak hukum dan lembaga pengawasan. Masyarakat menunggu, apakah langkah korektif akan segera diambil atau justru menyaksikan lagi contoh nyata ketimpangan penegakan hukum—yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Karena jika negara tak mampu menindak yang salah, maka siapa lagi yang akan menjaga yang benar? (Daenk)