NASIONALNEWS.id NUSA TENGGARA TIMUR – Kekerasan pada anak seringkali memicu anak lebih banyak mencari kasih diluaran. Disponsori oleh Liliane Fonds dan Yayasan NLR Indonesia, acara di gelar di Aula Kelurahan Prailiu, Sumba Timur, provinsi Nusa Tenggara Timur pada Jumat, (6/12/2024) bersama Yayasan Wali Alti (Yasalti) diikuti oleh 20 orang peserta. Minggu (8/12/2024)
Kegiatan yang bertujuan untuk mengidentifikasi peran masing-masing pihak dalam HKSR, menemukan dan memetakan kekuatan dan hambatan dalam penangangan HKSR yang telah dilakukan para pihak, menganalisis dan merumuskan alur serta sistem rujukan penanganan HKSR, membangun komitmen dan rekomendasi.
Dari 20 peserta dihadiri oleh peserta unsur: DP3AP2KB (1 orang) , Dinas Kesehatan (1 orang) , Puskesmas Kota Waingapu (1orang), Puskesmas Kambaniru (1 orang) , RSUD (1 orang) , RSKL (1 orang) , PKK Kecamatan Kota Waingapu (1 orang) , PKK Kec. Kambera (1 orang) , Perwakilan Komunitas (OMK 1 orang, Pemuda GKS Maukaba (1 orang) , GKS Mbokah (1 orang) , Karang Taruna Kamalaputi (1 orang) , Karang Taruna Kambaniiru (1 orang), Guru BK SMP N 3 (1 orang) , SMKN 5 Waingapu (1 orang), SMAN 1 Kambera (1 orang), SLB N Kanatang (1 orang), perwakilan Remaja disabilitas (2 orang, perwakilan orang tua/pengasuh (1 orang).
Kepala Puskesmas Kambaniru, Benyamin L. Hihi mengatakan untuk membiasakan memperlakukan anak dengan sentuhan kasih sayang.
“Membiasakan anak diperlakukan dengan sentuhan kasih orangtua, dengan do’a orangtua bagi anak, orangtua menjadi teman dan sahabat bagi anak. Anak dan remaja harus dibiasakan bersosialisasi dengan teman sebayanya dan hindari perilaku diskriminasi terhadap anak. Saat memberikan informasi HKSR kepada remaja, baik disekolah maupun di posyandu remaja, kita harus mulai dengan membangun hubungan yang baik dengan remaja, memahami karakter mereka, sehingga saat mereka percaya kepada kita, mereka lebih terbuka menyampaikan apa yang dialaminya saat memasuki masa pubertas, keluhan-keluhan yang dialaminya dimasa remaja bahkan persoalan berkaitan dengan HKSR,” ucap Benyamin.
Nelly Hariyanty, tenaga sanitasi lingkungan di Dinkes menyampaikan,
“Ketika mendapatkan data ibu hamil berusia dibawah 18 tahun di Puskesmas, kita harus tahu bahwa itu adalah anak korban kekerasan seksual. Sebaiknya segera dilaporkan karena kalau kita tidak melaporkan, kita masuk dalam pasal pembiaran di UUPA. Dilaporkan ke DP3AP2KB, bisa juga ke Dinsos melalui Peksos atau bisa langsung dilaporkan ke Kepolisian. Dalam UUPA, kita tidak mengenal yang namanya kasus kekerasan seksual terjadi karena *suka sama suka* yang ada adalah *tipu muslihat* karena kalau laki – laki mau melakukannya sama perempuan, ada banyak cara yang digunakan untuk mencapai keinginannya. Yang ditekankan juga bahwa dalam UUPA, tidak ada yang namanya proses mediasi. Bahwa laki-laki mau bertanggung jawab dengan menjalankan proses adat, namun proses hukum tetap dijalankan. Dan satu-satunya UU yang bicara minimal hukuman 5 tahun – 15 tahun adalah UUPA. Jika pelaku kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung/om kandung/kakek kandung dan oleh guru maka hukuman ditambah 1/3 menjadi 20 tahun. Karena kita bicara *Alur rujukan* maka pelapor saat melapor, harus melengkapi data diri pelaku dan korban dengan membawa KK, KTP – El/KIA untuk korban anak yang belum memiliki KTP – El karena dibutuhkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Tugas pelapor hanya sebatas melapor ke DP3AP2KB / DINSOS – PEKSOS / Kepolisian disertai identitas diri pelaku dan korban. Untuk penyidikan dan naik ke penyelidikan, menjadi tugas nya kepolisian. Kasus yang dilaporkan harus memenuhi 3 syarat seperti : Barang bukti, Saksi dan Alat bukti (tes DNA) dan alat bukti ini yang kadang sulit karena tes DNA hanya bisa dilakukan di Denpasar dan Jakarta. Ketika kasusnya sudah oke dan disetujui oleh Peksos maka kasusnya akan naik ke pengadilan. Dan pengadilan yang akan memutuskan hukuman bagi pelaku. Ada 5 lembaga yang berbicara tentang perlindungan anak yakni : DP3AP2KB, Dinas sosial, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ke 5 lembaga tersebut punya Tupoksi masing-masing. Pelapor bisa dari berbagai unsur : Keluarga (ibu, bapak, kakak,dll), Guru, Nakes, Tetangga, dll. Intinya yang melihat atau mengetahui kejadian,” terang Nelly.
Margaretha Dj.Tara ( Wakasek-SMAN 1 Kambera) bicara soal pola asuh yang salah kepada anak yang akan berakibat buruk pada perilaku anak dan tumbuh kembangnya. Pendidikan lahir dimulai dari rumah terlebih dahulu sebelum menyalahkan pihak lain di luar sana, kata Margaretha.
Meriyati Hambabanju ( Jafung Peksos pada DP3AP2KB) memberi penjelasan.
“Kasus kekerasan (Pelecehan, persetubuhan/pemerkosaan) yang dilaporkan ke DP3AP2KB yang dialami oleh anak akan ditindaklanjuti sampai tuntas/pelaku di penjara. Namun kasus kekerasan pada perempuan (KDRT) masih melalui proses mediasi kalau proses mediasi tak ada jalan keluarnya berarti kasusnya bisa ditindaklanjuti sampai ke kepolisian.
(Pewarta Debora Grace)