Demokrasi Gila Kuasa

oleh -
b127a190 efcc 483b b5d8 45e672021bf7
H. J. FAISAL Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI

Oleh: H. J. FAISAL

NASIONALNEWS.ID JAKARTA – Ketika hukum telah dijadikan sebuah kendaraan politik yang sangat ‘efektif’, dan hanya menjadi barang pesanan para oligharki atau para investor hitam pemuas nafsu jahat penguasa pemerintahan, maka hukum tersebut sejatinya telah kehilangan kekuatan nilainya, karena hanya berisi landasan yuridis tanpa supremasi. Dan inilah yang sedang terjadi di Indonesia, dan sedang dipertontonkan dengan gamblang oleh para penguasa pemerintahan saat ini.

Hukum sejatinya dibuat untuk mengatur segala sesuatunya, agar kehidupan sebuah komunitas masyarakat dapat lebih baik, berjalan dengan teratur dan beradab. Tetapi ketika nilai sebuah hukum yang suci tersebut dipermainkan oleh kekuasaan dikarenakan akses kekuasaan yang tidak terbatas, dan birahi kekuasaan yang sangat mengggelora, maka yang terjadi adalah kekacauan.

Dalam alam demokrasi liberal sekuler yang berlandaskan materialisme seperti yang saat ini dianut oleh banyak negara yang mengaku modern, seperti Indonesia, adab dan etika dalam proses perjalanan bermasyarakat dan bernegara menjadi sesuatu yang tidak perlu untuk diperhatikan.

Demokrasi yang berlandaskan materialisme tetap akan mendahului kepentingan mereka yang dapat ‘membayar’ lebih banyak, selama itu ‘tidak melanggar’ hukum, dan tidak tercium oleh hukum, dan kalaupun terkena jeratan hukum, maka hukum itu sendiri yang harus diubah, demi melindungi kepentingan mereka. Tetapi jika hukum berhadapan dengan masyarakat kecil yang tidak mampu untuk ‘membiayai’ hak-hak pembelaan hukumnya, maka hukum akan berlaku sangat tegas untuk mereka.

Artinya, para penguasa pemerintahan akan dapat dengan bebas untuk merubah segala kebijakannya, meskipun itu harus merubah peraturan atau hukum yang menjadi landasan yuridisnya. Tidak perduli dengan etika, adab, dan harga diri. Selama semuanya dapat dilakukan secara ‘legal’ meskipun dengan cara ‘akal-akalan’ yang penting ‘barang pesanan’ bisa jadi.

Jangankan dalam masalah hukum, jika sebuah negara telah menganut sistem demokrasi sekuler liberal yang berdasarkan materialisme, seperti di Indonesia saat ini, maka tidak akan ada pula yang namanya etika, moral dan adab dalam masalah pendidikan dan ekonomi, bahkan politik. Semua hal hanya diukur dari nilai untung dan rugi secara materi saja. Agama sebagai pengatur sendi-sendi kehidupan manusia yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah pun tidak akan digunakan lagi. Agama hanya ‘boleh’ digunakan di ruang privat saja.

Bayangkan jika agama yang berisi nilai-nilai Ilahiyah saja sudah diprivatisasi, maka yang digunakan di ruang publik adalah nilai-nilai nafsu setan yang dibungkus dalam paket Hak Asasi Manusia, kesamaan gender, pluralisme, kebebasan tanpa batas (liberalisme), pluralisme, sekularisme, dan ‘isme-isme’ perusak keimanan lainnya.

Dalam masalah pendidikan, misalnya. Jangan harap ada yang namanya pendidikan agama yang mendalam dalam penyusunan kurikulum nasional kita. Masalah etika, adab, dan moral, cukup dihantarkan saja melalui kurikulum yang berisi tentang pembinaan karakter, karena karakter dianggap lebih universal daripada agama. Itu artinya, tidak perlu nilai-nilai ke-Tuhan-an dalam diri manusia, cukup menjadi baik dan berkarakter saja sudah cukup.

Begitupun dalam masalah ekonomi. Dalam demokrasi sekuler liberal materialis, semua harga barang di pasar, termasuk barang kebutuhan pokok rakyat yang seharusnya menjadi tanggungan pemerintah melalui program subsidinya, harus ‘dilempar’ ke pasar, dan mengikuti harga mekanisme pasar yang berlaku. Maka jangan heran jika harga kebutuhan pokok akan semakin naik dan tidak akan pernah turun. Tidak ada belas kasih terhadap rakyat dalam hal ini.

Ditambah lagi masyarakat Indonesia yang juga mulai acuh tak acuh terhadap fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintahan. Ketidakacuhan masyarakat atau rakyat ini sejatinya terjadi dikarenakan dua faktor utama, yaitu rasa putus asa masyarakat terhadap pergantian kepemimpinan negeri ini yang sudah terjadi sebanyak 7 kali, namun tetap tidak membawa kemakmuran yang hakiki bagi masyarakat atau rakyat itu sendiri.

Dan yang kedua adalah dikarenakan tidak ada keteladanan yang benar-benar dapat dijadikan panutan dalam berbangsa dan bernegara dari para pemimpin negara tersebut. Yang ada hanyalah contoh-contoh buruk yang terus dipertontonkan oleh para pemimpin tersebut, mulai dari masalah ekonomi, hukum, pendidikan, politik, bahkan contoh buruk dalam berdemokrasi.

Dengan kondisi masyarakat yang acuh tak acuh demikian, dan tidak menjalankan fungsi kontrolnya yang penuh terhadap penyimpangan yang terjadi dalam pemerintahan penguasa, maka akhirnya masyarakat harus ‘rela’ jika mereka hanya dijadikan ‘alat politik’ bagi penguasa saja, dengan dalih kedaulatan yang berada di tangan rakyat, padahal sebenarnya kedaulatan rakyat telah hilang sama sekali, dan telah berganti dengan kedaulatan partai politik.

Partai politik sebagai pemegang saham kedaulatan rakyat akhirnya merasa mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan garis-garis kebijakan negara ini. Keberadaan rakyat hanya diperlukan dalam pemilihan umum pergantian kekuasaan, bahkan penguasa yang sedang berkuasa saat ini akan dengan rela memberikan ‘siraman uang’ kepada rakyat yang miskin dalam berbagai macam kamuflase istilah dan kamuflase program pemerintah, untuk ‘membeli’ suara mereka.

Ini artinya, jika semakin banyak orang miskin di dalam suatu negara, maka akan semakin besar peluangnya untuk memimpin kembali. Itulah mengapa muncul sebuah diksi, bahwa sesungguhnya kemiskinan itu memang sengaja ‘dipelihara’ oleh sebuah rezim agar rezim tersebut mempunyai jaminan kantong suara yang pasti jika terjadi sebuah suksesi kepemimpinan. Maka sangat terlihat sekali bahwa sistem ijon demokrasi akan sangat subur jika semua bidang kehidupan suatu negara hanya berlandaskan materialisme semata.

Maka dari itu sudah tidak ada rasa tabu dan malu lagi, jika calon presiden yang seharusnya bekerja untuk rakyat, harus rela dan manut jika disebut sebagai petugas partai dan pastinya harus bekerja berdasarkan garis-garis besar haluan partai, dan bukan berdasarkan garis-garis besar haluan negara, Undang-Undang Dasar 1945, apalagi berdasarkan kepentingan rakyat. Sungguh jauh sate dari bara api di panggangannya.

Tipe Negara Menurut Filsuf Islam Al Farabi

Dalam sebuah tulisan yang dilansir oleh kompasiana.com (2019), di dalam sebuah bukunya yang berjudul Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, yang terinspirasi dari pemikiran Plato, Al Farabi (872-950 Masehi) membuat sebuah teori tentang kondisi atau status negara-negara yang ada di dunia. Beliau pun akhirnya membagi negara kepada dua kelompok, yaitu negara utama (al-Madinah al-Fadhilah) dan lawan negara utama (Mudaddah al-Madinah al-fadhilah).

Menurut Al Farabi. Negara Utama, adalah sebuah negara yang erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama. Negara utama mempunyai warga dengan fungsi dan kemampuan yang tidak sama satu sama lain dan bekerja sesuai dengan keahlian dan kecakapan masing-masing yang dijiwai dengan rasa tanggungjawab dan setia.

Sehingga menurutnya, kepala negara utama haruslah seorang filsuf yang mendapatkan kearifan melalui pemikiran dan rasio, arif dan bijaksana.

Sedangkan klasifikasi yang kedua adalah lawan dari negara utama, yang memiliki 4 tingkatan yaitu:

1. Negara Bodoh; yaitu negara tidak mengenal kebahagiaan, dan kebahagiaan tidak pernah terlintas dalam hati rakyatnya. Jikalau diingatkan mereka tidak akan mempercayainya. Kebahagiaan menurut mereka hanya sekedar badan sehat dan harta yang cukup sehingga jika tidak memiliki keduanya, artinya mereka berada dalam sebuah kesengsaraan.

2. Negara Fasik; yaitu negara yang penduduknya menegenal kebahagiaan, Tuhan, dan akal fa’al, layaknya negara utama. Namun, tingkah lakunya sama seperti tingkah laku negara bodoh.

3. Negara Sesat; yaitu negara yang penduduknya memiliki pemikiran yang salah mengenai Tuhan dan akal fa’al. Sehingga, kepala negaranya menganggap dirinya menerima wahyu dan kemudian menipu warganya dengan ucapan dan tingkah lakunya.

4. Negara yang Berubah; yaitu negara dimana pada awalnya mereka penduduk negara utama, namun mereka terbawa perubahan karena perkembangan zaman dan membawa mereka kepada kerusakan pemikiran.

Dengan demikian, jika mengacu kepada teori negara dari Al Farabi, dan berdasarkan pemaparan yang telah saya tuliskan di atas, kira-kira negara tercinta kita ini termasuk kita sebagai rakyatnya ada di tipe negara yang manakah?

Dan apakah kita dapat masuk ke dalam kategori negara utama dalam waktu dekat ini?

Wallahu’allam bisshowab

Jakarta, 31 Oktober 2023

*Pemerhati Pendidikan dan Sosial/ Sekolah Pascasarjana UIKA Bogor/ Anggota PJMI

No More Posts Available.

No more pages to load.