Kejagung dan BPK Didesak Sita Duit Judol Rp187,2 Triliun

oleh -
Barang bukti Judi Online
Barang bukti 26 mobil mewah hasil TPPU disita saat rilis pengungkapan kasus perjudian online di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (25/11).(MI/Usman Iskandar)

NASIONALNEWS.id JAKARTA – FRAKSI Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera menyita serta melacak aliran dana judi online (judol) senilai Rp187,2 triliun yang diduga dinikmati perbankan, e-wallet dan operator seluler.

Anggota Komisi III DPR Bidang Hukum, Habib Aboe Bakar Al-Habsyi menilai, kasus seperti BLBI menjadi pelajaran penting agar penanganan aliran dana judol di lembaga keuangan dan nonbank dilakukan lebih cepat dan akuntabel.

Politisi PKS ini pun mendorong Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kejagung dan BPK segera menyita duit judol yang dinikmati perbankan, e-wallet serta operator seluler. “Penyitaan duit judol di perbankan, e-wallet dan operator seluler oleh Kejagung bekerja sama dengan BPK di luar pengadilan adalah solusi yang cepat dan tepat,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (24/12).

Sekjen PKS ini mengatakan penyitaan duit judol bakal memberikan efek jera kepada lembaga penyelenggara sistem pembayaran baik perbankan, e-wallet dan operator seluler yang terkoneksi dengan merchant judi online.

Pelakunya, kata dia, terancam pidana penjara hingga 6 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar berdasarkan UU ITE Pasal 27 Ayat (2) dan Pasal 45 Ayat (2). Selain itu, Pasal 303 KUHP juga mengatur hukuman hingga 10 tahun penjara atau denda Rp25 juta bagi pelaku perjudian.

Dia menjelaskan, bank, e-wallet dan operator seluler dapat kehilangan dana hasil judol yang dianggap sebagai hak pemerintah, dan pendapatan dari aktivitas ilegal ini akan disita. Reputasi dan operasional perusahaan bakal terancam.

“Jadi judol merupakan wabah yang sangat serius yang telah menyebabkan risiko sistemik di sistem pembayaran kita. Di sisi lain, ada yang menikmati dari tiap rupiah transaksi judol. Yakni perbankan, e-wallet, operator seluler dan lembaga non bank lainnya,” katanya

Pengawasan BI dan OJK
Presiden Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri menyayangkan melempemnya pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Akibatnya, judol dimanfaatkan perbankan dan lembaga keuangan non-bank untuk mengeruk cuan. Padahal, praktik judol dilarang negara.

Meluasnya sistem pembayaran judol lewat bank, e-wallet dan operator seluler, kata dia, membuktikan lemahnya pengawasan perbankan melalui OJK dan pengawasan sistem pembayaran oleh BI.

Mudahnya koneksi pembayaran melalui Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), kata Deni, API (Application Programming Interface) dari perbankan, e-wallet ke PJP (penyedia system pembayaran), berdampak kepada melemahnya E-KYC (Elecronic Know Your Costumer) dan E-KYB (Electronic Know Your Business).

Dalam hal ini, perbankan dan e-wallet pura-pura tidak tahu adanya koneksi dalam sistem pembayaran merchant judol. Dia mengatakan PJP yang mendapat izin operasi dari BI (Bank Indonesia) sesuai dengan PBI No.22/23/PBI/2020 dan juga PJP yang mendapat izin PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik) lewat PP No 71/2019 dari Menkodigi akhirnya berevolusi menjadi media transaksi pembayaran dan merchant judol. “Inilah yang menyebabkan maraknya judol semakin berkembang pesat,” paparbya.

Dia bilang, baik perbankan, e-wallet maupun operator seluler adalah media yang digunakan untuk melakukan pembayaran judol secara digital.

Ketiga lembaga itu meraup keuntungan atau cuan berupa fee based income (pendapatan) yang cukup jumbo. Berdasarkan catatan CBC, sejak 2017 hingga 2024, terjadi transaksi judol lewat perbankan, e-wallet dan operator seluler sebesar Rp1.416 triliun.

Kemudian sistem pembayaran yang membantu judol, yakni perbankan mendapat Rp3.000 per transaksi, e-wallet Rp1.500 per transaksi dan operator seluler di kisaran Rp2.500-Rp5.000 per top up.

Sehingga, pendapatan perbankan, e-wallet dan operator seluler dari praktik judol selama 8 tahun (2017-2024) sebesar fee based income perbankan Rp70,5 triliun, e-wallet Rp11,5 triliun, operator seluler Rp4,2 triliun. Sedangkan nilai transaksi yang diblokir PPATK sebesar Rp101 triliun.

“Jumlah pendapatan bank, e-wallet dan operator seluler dari judol dalam 8 tahun, sebesar Rp86,2 triliun dan yang diblokir Rp101 triliun dapat diambil oleh BPK bekerja sama dengan Kejagung dengan cara dicicil selama setahun,” ungkapnya.

Jika besarnya pengembalian tidak sesuai dengan angka sebenarnya, kata dia, BPK dapat melakukan investigasi audit, IT audit, di mana biaya audit ditanggung lembaga yang bersangkutan.

Sumber:MediaIndonesia
(N-2)

No More Posts Available.

No more pages to load.